Sabtu, 14 Maret 2009

cantika -3-

-Pada Suatu Hari….-
Cantika adalah boneka porselen. Dia tidak boleh bermain hujan-hujan, bermain lumpur, memanjat pohon, ataupun terkena teriknya matahari karena tubuhnya yang ringkih mudah terkena penyakit. Jadilah, dia seperti ‘Genie in the bottle’ dengan pengawasan super eksklusif dari Klan Kusuma. Sekedar mengingatkan kembali, aku tak iri dengannya.
Ketika nafasku mengap-mengap karena astma, aku tetap melangkah ‘gagah’ pergi ke sekolah padahal saat Cantika flu ringan, dia diizinkan untuk tidak masuk sekolah oleh guru Klan Kusuma. Ketika lututku luka akibat terjatuh dari pohon mangga karena iseng mencuri bersama teman genk esde, Cantika menikmati mangga curianku dengan wajah sumringah dari bawah pohon. Ketika aku dan teman genk esde dikejar oleh pemilik pohon mangga, Cantika tidak dikejar bahkan dikasihani karena dianggap telah dipedayai oleh kami untuk ikut mencuri mangga.
Karena terbiasa oleh ‘keras dan kejamnya dunia di sekitar’, aku pun tumbuh menjadi perempuan tangguh dan mandiri, namun sesekali keras kepala saat ingin mewujudkan keinginan. Hal itu berbeda dengan Cantika. Perempuan berleher jenjang dan bermata indah itu nampak klemar-klemer dan lemah gemulai.
Ketika aku kembali melanjutkan studi ke strata dua dan berbeda dengan jurusan strata satu-bahasa dan sastra Indonesia di sebuah universitas negeri di daerah pasundan, banyak pihak yang menyangsikan dengan kemampuanku. Untunglah, ayahku bersedia menyumbang dana pendidikan magisterku karena penghasilanku selama ini belum terlalu cukup untuk mendanai kuliahku. Sesuai kesepakatan, aku kuliah di universitas negeri yang terletak di Rawamangun mengambil jurusan manajemen pendidikan program nonreguler karena walau bagaimanapun aku harus tetap menafkahi diri sendiri dan berbagi kebahagiaan dengan keluarga dengan rezekiku itu. Jurusan tersebut di awal perkuliahan cukup membuat otakku seperti benang kusut. Namun, alhamdulillah semester selanjutnya aku pun sudah mulai menguasai keadaan dan saat ini aku sedang berusaha menyelesaikan tesis.
Setelah aku berhasil melewati satu semester yang melelahkan, Cantika mengikuti jejakku untuk melanjutkan studi strata dua. Dan, seperti sudah bisa ditebak, keputusan perempuan bertubuh ramping itu didukung oleh banyak pihak. Bahkan, Cantika disarankan untuk melanjutkan studi ke luar negeri dan ada seorang pria yang bersedia membiayainya asalkan ia bersedia menikah dengannya namun perempuan berbibir apel itu menolak. Dia pun melanjutkan studi di universitas yang sama denganku tapi berbeda jurusan. Dia mengambil program pendidikan usia dini. Dia pun dengan mudah mendapatkan izin atasannya untuk meninggalkan pekerjaan saat perkuliahan berlangsung karena jurusan tersebut hanya tersedia program regular.
Pada suatu siang yang terik, aku termenung di meja kamarku. Aku sedang berusaha keras membaca literatur tesis. Pening rasanya kepalaku melototi serentetan bahasa Inggris yang dengan susah payah kulahap. Untung saja, aku sudah mengirimkan naskah dan terjemahan pesanan ke sebuah penerbit buku lifestyle. Dengan demikian, selama seminggu ini akan kumanfaatkan dengan sebaiknya untuk membaca literatur tesis. Selain itu, aku sedang libur mengajar karena mahasiswaku sedang menjalani libur semester ganjil.
Tok. Tok.
Kuangkat wajahku. “Ya ampun, Cantika. Kau sedang apa di bawah sana? Ayo, masuk saja dari depan rumah.” seruku kaget.
“Psst, Lika, jangan keras-keras. Kau segera ke bawah, ya. I need your help. Temani aku pergi, ya. Kau segeralah mandi dan berganti pakaian. Aku akan menunggumu di sini.” ucap Cantika dari balik jendela kamarku. Kebetulan, kamarku terletak di lantai dua namun tidak terlalu tinggi.
“Pergi kemana? Hari ini kau tidak bekerja?” tanyaku setengah berbisik.
Cantika menggeleng. “Sudah, kau tak usah banyak bertanya, nanti akan kujelaskan.”
Aku mengangguk. “Baiklah, kau tunggu, ya. Aku segera datang.”
Dengan secepat kilat, aku mandi dan berdandan seperlunya. Aku sayang Cantika dan aku tak mau dia menungguku terlalu lama.
“Sudah selesai?” Cantika mengamatiku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Aku mengangguk. “Ok, c’mon. Let’s go.”
“Kau bawa mobil, ya. Em, kau yakin sudah mandi? Koq dekil masih…”
Aku meleletkan lidah. “Santai saja. Kita mau pergi kemana? Tidak ke tempat formal, kan?” tanyaku santai.
Cantika tersenyum.
Aku mengeluarkan sedan bututku. Jelek-jelek begini, kendaraan berwarna biru muda ini adalah hasil kerja kerasku loh. Aku juga mempunyai beberapa simpanan dana dan mampu membeli perlengkapan elektronik sendiri, seperti laptop, ponsel, televisi, AC, kulkas mini, dan DVD Player. Selain itu, aku pun lagi nabung untuk beli rumah sederhana di sebuah perumahan yang tak jauh dari sini.
“Semoga ‘gak mogok. Kenapa ‘gak membawa Honda Jazz-mu saja seh?” tanyaku heran. “Biasanya, kau enggan pergi dengan sedan bututku ini?”
“Gak pa-pa sekali-kali pergi dengan mobilmu, kan. Semoga ‘gak mogok, ya.”
Sepanjang perjalanan Cantika banyak diam. Dia hanya menjawab pendek dari berbagai pertanyaanku. Dia juga memberitahu jalur mana saja yang harus kami lalui.
Kami pun berhenti di sebuah rumah bercat putih saat matahari sudah tidak muncul lagi. Aku mengikuti langkah Cantika. Aku pun menurut saja saat Cantika memintaku untuk menunggu di teras rumah.
Terdengar rintihan pelan dari dalam rumah itu. Aku menjadi cemas. Ingin rasanya aku mendobrak masuk namun kuurungkan niat itu. Aku tak mau nanti berakhir dengan berurusan pihak aparat keamanan dan Klan Kusuma.
Beberapa jam aku menunggu dengan cemas dan sesekali rasa jenuh menyergapku. Tubuhku pun digigiti oleh nyamuk. Banyak nyamuk di sini. Hal itu mungkin karena banyak pohon besar dan lebat di pekarangan rumah. Untuk mengusir rasa jenuh, aku melemparkan pandanganku ke sekeliling rumah ataupun sms-an dengan cowok istimewa yang saat ini berusaha meyakinkan kalau dia adalah Mr Right bagiku.
Setelah sekian lama menunggu, Cantika pun keluar. Wajahnya nampak luyu dan kurang bersemangat. Aku membantunya berjalan menuju mobil.
Pertanyaan yang kuajukan pun tidak dijawabnya. Keputusannya untuk menginap di hotel kutolak dengan tegas. Namun, aku mengalah. Aku setuju dengan idenya asalkan aku menginap di hotel dengannya dan akhirnya dia pun setuju. Itu pun setelah kami bersitegang cukup lama.
{{{

Beberapa hari kemudian.
Cantika sudah lebih segar dari beberapa hari yang lalu. Kecemasanku padanya pun berangsur surut walaupun dengan seribu tanya yang masih berkecamuk di dalam dada. Aku pun memutuskan untuk tidak mengungkit kejadian beberapa hari yang lalu.

Tidak ada komentar: