Sabtu, 14 Maret 2009

BHUMI, UDARA, DAN AIRA (cerbung) -9-

Setahun kemudian.
Aku rutin berkunjung ke makam Udara dan Bhumi.
Aku selalu menghindari perjalanan laut. Jika tidak ada pesawat yang akan membawaku pergi, aku selalu mengurungkan niatku untuk pergi. Akan tetapi, kali ini aku tak bisa menghindar lagi. Aku terpaksa menyebrang dengan kapal karena ibuku sedang sakit. Beliau tidak boleh naik pesawat karena ada gangguan kesehatan.
Sekuat tenaga aku bertahan. Aku tak mau melihat air. Aku tak mau melihat laut. Aku berusaha kuat untuk tetap bertahan di dalam kapal.
Sekuat apapun aku berusaha jika saat itu tiba, tak ada seorang pun yang mampu menolaknya. Aku berhalusinasi. Aku melihat sosok Udara dan Bhumi melambaikan tangannya.
Aku tak kuasa menolak dorongan hati. Aku kalah. Aku menghampiri mereka. Tak kuperdulikan teriakan ibu dan beberapa orang yang memanggil namaku.
“Tolong pak, itu putri saya. Putri saya satu-satunya. Dia tidak bisa berenang. Dia sepertinya ingin melompat ke laut. Kami baru mengunjungi makam ayahnya di Palembang. Kami harus segera kembali ke Jakarta. Saya sakit dan tidak boleh pergi dengan pesawat dulu. Padahal, saat saya berangkat, saya merasa baik-baik saja. Namun, saat saya harus kembali ke Jakarta, dokter di Palembang menyarankan agar saya tidak bepergian dengan pesawat dulu karena menurut dokter itu, saya mengalami masalah dengan alat pendengaran saya sehingga untuk beberapa waktu tidak diperbolehkan bepergian dengan pesawat.” ucap ibu memelas.
Byur. Ufhg. Blup. Blup.
“Aira Amanda Kirana! Aira!!”
Dan, Aira (yaitu aku) pun kembali menyatu dengan “nenek moyangnya”, yaitu air untuk kembali dipertemukan dengan teman-temannya di dalam tanah Jatinangor.

***

Selasa, 31 Oktober 2006. Ciledug.

Tidak ada komentar: