Sabtu, 14 Maret 2009

BHUMI, UDARA, DAN AIRA (cerbung) -3-

“Bhumi, mengapa kau mengundangku kemari? Kemana Elang?” tanyaku sembari berjalan ke arah kulkas.
“Dia sudah menikah dengan Cinta.” jawab Udara.
“Cinta.” Aku mencoba mengingat nama itu. “Oh, Cinta. Ya, cewek Bogor itu. Dimana mereka tinggal? Darimana kau tahu kalau Elang menikah dengan Cinta?”
Udara menatapku sinis. Akh, gadis ini masih saja dendam denganku. Mengapa dia sulit memaafkanku. Padahal aku sudah mengubur lama percintaanku dengan Bhumi namun sulit bagiku untuk melupakan persahabatan kami. Dan, sulit bagiku untuk melupakan Elang, pemuda berkulit hitam legam namun berotak encer itu.
Tok. Tok. Aku meringis. Bhumi menjitak kepalaku keras. Aku ingin membalasnya namun kuurungkan niat itu. Aku tak mau ada kejar-kejaran seperti dulu. Cukup sudah semuanya itu.
“Dara,” panggilku sembari membuka kulkas.
“Apa.” tanya Dara tanpa menoleh ke arahku. Dia sibuk memencet remote tv.
“Bagaimana kabarmu?” kuambil minuman bersoda lalu membukanya. Aku duduk di samping Udara dengan santai.
“Baik. Aktivitasku sekarang adalah melukis. Terkadang aku menerima rias pengantin atau sekadar rias wajah seseorang yang telah meninggal. Aku suka menggambar. Jika kau meninggal, aku bisa mendadani wajahmu.” kata Udara dingin.
Uhuk. Aku tersedak. Ucapan Udara membuatku kaget. Dia masih suka asal bicara seperti dulu. Entah apa yang menarik pada dirinya hingga Bhumi pernah jatuh cinta padanya.
Udara menatapku dalam. Bulu kudukku sempat merinding. Gadis bertubuh atletis seperti GI Jane itu tersenyum manis. Sial, lagi-lagi aku tersedak minuman soda.
Bhumi tertawa lepas melihat ekspresi wajahku. “Sudahlah Dara. Kau jangan membuat Ira kaget. Ira sudah dewasa sekarang. Dia lebih tenang dan tidak meledak-ledak seperti dulu. Maaf, ya Ra. Saya sengaja menulis nama Elang di kartu undangan agar kau datang. Saya tahu saya salah tapi reuni diadakan agar hubungan kita kembali membaik seperti dulu. Rumah ini adalah rumah persinggahan yang pernah kita datangi. Saya sudah membeli rumah ini setahun yang lalu. Sebelum kalian datang, saya merenovasinya. Saya rapikan dan cat kembali.”
Pluk. Aku melempar bantal ke wajah Bhumi. Bhumi tertawa lepas. Ugh, aku gemas dengan keisengan Bhumi yang mencantumkan nama Elang di kartu undangan. Nampaknya, dia tahu kalau aku diam-diam masih menaruh hati kepada Elang.
“Lupakan Elang. Dia itu khan “adik angkatmu” toh. Dia adik kelas kita. Kau terlalu hebat untuk menjadi kekasihnya apalagi menjadi istrinya. Cinta lebih pantas menjadi belahan jiwanya. Cinta lebih gemuk darimu dan dia tidak lebih pintar darimu.”
Pluk. Aku melempar remote tv dan sukses mengenai kening Bhumi karena sekali lagi aku gemas dengan komentarnya mengenai Elang. Bhumi meringis dan memijit keningnya yang mulai membiru. Udara menatapku sewot karena aku merebut remote tv dari tangannya.
“Ada yang kalian perlu ketahui tentang saya sekarang. Saya sudah memesan tiga liang lahat untuk kita bertiga. Letaknya di belakang rumah ini. Rumah ini sudah kuwariskan kepada Elang dan Cinta. Mereka semula menolak namun setelah kubujuk barulah mereka mau. Usaha pabrik pakaianku hancur Ra. Hidupku pun tak lama lagi. Semua telah hilang. Usaha yang kurintis sejak lulus kuliah bisa hancur dalam sekejap. Perjuanganku selama beberapa tahun lenyap tak bersisa. Hanya karena seorang perempuan cantik yang memperdayaiku.” curhat Bhumi.
Aku manggut-manggut. Prihatin.
“Kayak cerita di sinetron.” celetuk Udara nyinyir.
“Pesanku satu, jika besok pagi kau menemukanku sudah tak bernyawa, maka kuburkanlah saya di tanah belakang.”
“Bhumi.” kataku sembari mesam-mesem.
“Oke, beres Bhumi.” jawab Udara.
Aku menatap cewek berkaos hijau lumut ketat di hadapanku dengan marah. “Ada apa denganmu? Empat tahun kita tak bertemu namun kau telah membuatku takjub. Kau tidak lagi memiliki empati kepada sahabatmu. Malam ini aku tak akan tidur. Aku akan menjaga Bhumi agar dia tidak melakukan hal yang bodoh.”
Udara meleletkan lidah. “Weew…. Terserah.” Udara pun negeloyor pergi. Dia masuk ke kamarnya lalu mengunci pintunya. Tak lama dia mematikan lampu sebagai tanda bahwa dia beranjak tidur.
Aku bangkit lalu mulai membuat kopi. Entah mengapa, dari lubuk hatiku yang paling dalam memintaku untuk tidak tidur malam ini. Tiba-tiba, aku merasa sayang sekali kepada Bhumi. Malam ini, aku tak mau Bhumi melakukan hal bodoh yang dapat membuatku kehilangan dirinya lagi.
Sungguh aneh dan diluar dugaanku kalau pria setangguh dan setampan itu menjadi cepat putus asa. Lalu, Udara juga aneh. Sejak kapan dia berubah menjadi perempuan maskulin. Setahuku, dia lebih feminin daripadaku. Dia juga mengaku bekerja sampingan sebagai sniper. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Bukankah dulu dia melihat kecoa saja menjerit. Bagaimana dia bisa lihai memainkan senjatanya? Akh, dunia yang aneh.
Kuteguk black coffee perlahan. Sebetulnya aku tidak suka dengan black coffee. Akan tetapi, aku terpaksa meminumnya karena aku hanya menemukan satu kaleng black coffee dan satu kaleng gula putih besar.
“Belum tidur?” tanya Bhumi mengagetkanku.
Aku menggeleng. “Mengapa kau membeli rumah ini, Mi?”
“Karena saya ingin mewujudkan impian kita, yaitu memiliki rumah persinggahan terakhir sebelum ajal menjemputku. Saya tak mengerti mengapa kau rela melepaskan posisimu sebagai head of departement di sebuah sekolah internasional di Jakarta? Apakah kau tidak sayang dengan keputusanmu itu? Mengapa kau tiba-tiba beralih haluan menjadi seorang pedagang cabai dan sayur-mayur di pasar induk? Setahuku kau tak pandai matematika dan tak suka dengan suasana pasar tradisional.”
Aku tersenyum. “Aku pun tak tahu. Lagi pula tempatku berjualan nyaman kok. Aku sudah mengenal banyak pedagang dan preman di pasar itu. Hm, bagiku tidak sulit untuk bersosialisasi. Untuk matematika, khan ada kalkulator.”
Bhumi tersenyum lebar. “That’s my girl.”

***

Tidak ada komentar: