Jumat, 16 Juli 2010

Pelecehan Seksual

Sumber: Millist [Diskusi HRD Forum]

PELECEHAN SEKSUAL DI TEMPAT KERJA
(Kondisi di Indonesia dan Cara Mengatasinya)

Oleh : Ganjar Kusmana.SH

Pelecehan seksual (sexual harassment) memang belum lama populer dikalangan masyarakat Indonesia, walaupun istilah tersebut sebenarnya telah ada sejak pertengahan tahun 70-an. Munculnya istilah ini barulah marak seiring dengan kesadaran kaum wanita akan hak dan derajatnya. Hal ini karena masalah pelecehan seksual tidak dapat dipisahkan dari masalah diskriminasi gender.

APA ITU PELECEHAN SEKSUAL ?

Menurut Kamus Besar Indonesia (1990) pengertian pelecehan seksual adalah Pelecehan yang merupakan bentuk pembendaan dari kata kerja melecehkan yang berarti menghinakan, memandang rendah, mengabaikan. Sedangkan seksual memiliki arti hal yang berkenan dengan seks atau jenis kelamin, hal yang berkenan dengan perkara persetubuhan antara pria dan wanita.

Dengan demikian, berdasarkan pengertian tersebut maka pelecehan seksual berarti suatu bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal-hal yang berkenaan dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual antara pria dan wanita.

Di Indonesia istilah pelecehan seksual terdengar setelah banyak kasus diangkat kepermukaan oleh kalangan pers. Kasus-kasus pelecehan seksual mulai banyak dibicarakan, tetapi penelitian yang bersifat empirik masih relatif sedikit.

Dalam pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh majalah Tiara tahun 1991 ditemukan bahwa 82 % wanita bekerja pernah mengalami pelecehan seksual, sedangkan data LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) menyebutkan dari 417 kasus selama tahun 2001, hanya 5 kasus pelecehan seksual. Kedua data ini menyiratkan fenomena gunung es dimana kejadian sesungguhnya sangat banyak, namun yang dilaporkan sangatlah sedikit.

Belum ada hukum di Indonesia yang secara ekplisit mengatur masalah pelecehan seksual, terbukti belum adanya pasal resmi yang membahas hal tersebut. Selama ini pengadilan hanya mempergunakan beberapa pasal yang menyangkut perilaku tidak senonoh di depan publik. Pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana tersebut terdapat pada KUHP mengenai Kejahatan Kesusilaan dan Pelanggaran Kesusilaan.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual merupakan bentuk tingkah laku verbal maupun nonverbal yang dilakukan sekali atau lebih oleh pelakunya untuk tujuan kesenangan seksual yang tidak diinginkan dan dikehendaki oleh korbannya (tidak timbal balik) dan dianggap sebagai sesuatu yang dapat mengancam kesejahteraannya secara fisik, psikologis, sosial dan ekonomi.

OBYEK PELECEHAN SEKSUAL.

Pelecehan seksual umumnya terjadi terhadap perempuan, meskipun dalam satu dua kasus langka, ada juga kaum lelaki yang menjadi korban. Penelitian Gutek dalam Unger dan Crawford tahun 1992 menyimpulkan bahwa wanita lebih banyak (53%) mengalami pelecehan seksual daripada lelaki (35%).

Akar dari pelecehan seksual di tempat kerja, sama dengan basis dari berbagai diskriminasi, penindasan dan ketidakadilan lainnya yang dialami oleh kaum perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi upah, perkosaan, pelacuran dan perdagangan perempuan.

Penyebab utamanya adalah adanya kekuasaan dan ketidaksetaraan ekonomi serta pandangan seksis yang meluas dalam masyarakat, dimana posisi kaum laki-laki dianggap lebih tinggi daripada wanita. Pandangan ini kemudian membenarkan pemikiran bahwa tubuh perempuan adalah objek seksual.

Pelecehan seksual di tempat kerja adalah hal yang sering terjadi namun jarang diungkapkan. Pekerja / buruh perempuan harus menanggung resiko atau beban pelecehan dari dua arah :
• Pertama, pelecehan bisa terjadi dari atasannya. Pelecehan seksual ini terjadi ketika seseorang yang dengan "kekuasaannya" bisa memanfaatkan kedudukannya itu untuk mendesak orang lain dengan tindakan seksual yang tidak dikehendaki.
• Kedua, pelecehan terjadi dari sesama pekerja / buruh terutama pekerja / buruh laki-laki.

Atasan yang memperlakukan pekerja / buruh perempuan secara diskriminatif akan memicu situasi dimana para pekerja / buruh laki-laki merasa bahwa ini adalah hal "wajar", karenanya kepentingan menghapus terjadinya pelecehan seksual bukan semata karena pekerja/buruh perempuan berhak atas suasana dan syarat-syarat kerja yang setara dan adil, namun juga karena pelecehan seksual memecah belah persatuan dan kekompakan kaum buruh, dan menjerumuskan para pekerja/buruh dalam situasi saling dan konflik di antara mereka.

BENTUK PERILAKU PELECEHAN SEKSUAL

Bentuk-bentuk perilaku pelecehan seksual yang sering terjadi dan dikategorikan sebagai pelecehan seksual diantaranya :
• tingkah laku dan komentar yang berkenaan dengan peran jenis kelamin wanita (gender harassment),
• ajakan untuk kesenangan seksual yang tidak dikehendaki dan memaksa namun tidak memiliki sanksi apapun (seductive behavior),
• permintaan untuk melakukan kegiatan seksual atau hal yang berhubungan dengan disertai janji atau imbalan tertentu (sexual bribery),
• pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual dengan disertai ancaman hukuman (sexual coercion) dan
• kejahatan seksual dan pelanggaran hukum yang dilakukan secara terang-terangan (sexual assault).

Disamping itu ada bentuk dan perilaku-perilaku lain yang dapat dikategorikan pelecehan seksual, misalnya :
• Perkosaaan, baik yang masih berupa percobaan maupun yang sudah merupakan tindakan nyata.
• Surat-surat, telepon dan benda-benda yang bersifat seksual yang tidak diinginkan.
• Desakan untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan.
• Desakan untuk berkencan.
• Sentuhan, sandaran, penyudutan, atau cubitan yang tidak diinginkan.
• Pandangan atau gerakan-gerakan yang bersifat seksual dan tidak diinginkan.
• Olok-olok, gurauan, pernyataan atau pertanyaan yang bersifat seksual dan tidak diinginkan.

Pada tahun 1994 Indriyanti (seorang peneliti) melakukan penelitian kepada sejumlah karyawati di Jakarta mengenai perilaku yang dapat dipersepsikan sebagai bentuk pelecehan seksual, dan hasilnya bentuk yang dapat dikategorikan adalah :
• mengemukakan gurauan-gurauan porno;
• memberi komentar mengenai bagain-bagian tubuh wanita (betis,pantat, dsb)
• menggelitik tangan saat bersalaman;
• menyentuhkan tangan ke paha;
• mendekatkan tangan ke paha;
• mendekatkan wajah dan badannya ke arah wanita;
• menyentuh tangan saat bicara;
• menyentuh lutut;
• merangkul wanita;
• menyenderkan tubuhnya ke tubuh wanita;
• memijat-mijat bahu;
• memberi komentar mengenai penampilan fisik (badannya seksi, dsb);
• mendesak wanita untuk kencan (nonton, makan malam,dsb);
• menyenggolkan pantat ke pantat wanita;
• menepuk pantat wanita;
• terus menerus menanyakan aktivitas seksual wanita;
• menyombongkan aktivitas seksualnya kepada wanita;
• memperhatikan wanita sambil mendecakkan lidah;
• memegang pinggang;
• menelpon dan dengan nada menggoda bertanya : mau nggak sama saya ?.
• melempar pantat dengan kertas;
• berusaha mencium wanita;
• memandangi korban dari atas ke bawah;
• membelai-belai kepala/rambut korban.

REAKSI TERHADAP PELECEHAN SEKSUAL

Reaksi terhadap kasus pelecehan seksual umumnya korban lebih banyak bersikap diam. Semakin sempitnya lapangan kerja membuat pekerja / buruh perempuan akan melakukan apapun untuk mempertahankan pekerjaan yang saat ini dimilikinya.

Pekerja / buruh perempuan memilih untuk menerima syarat-syarat kerja yang tidak adil dan menindas, semata-mata agar mereka dapat memiliki penghasilan tetap dan tidak terlempar menjadi penganggur-pengangg ur baru.

Perjuangan menegakkan kesetaraan kerja dan perlawanan terhadap pelecehan seksual banyak menemukan hambatan, korban memilih diam karena ia mungkin menghadapi resiko pemecatan, dan hal ini akan mempengaruhi pendapatan dan prospek kerjanya.

Jika ia tetap bekerja, penolakannya utnuk memenuhi keinginan atasan akan menyebabkan ia mendapat penilaian negatif atas pekerjaannya, tidak mendapat kenaikan gaji, tidak ada promosi, tidak ada lembur, mendapat tugas-tugas yang lebih berat, jam kerjanya yang lebih lama dan mengabaikan hak-hak lainnya.

Seorang peneliti dari Barat yang bernama Johnson (1982) menemukan dan mengelompokan lima macam reaksi yang ditampilkan wanita korban pelecehan seksual, yaitu :
• go along (menurut atau menyetujui)
• go along out of fear of retaliation (menuruti atau menyetujui karena takut akan pembalasan dendam)
• took formal action against the harasser (mengambil tindakan formal terhadap pelaku pelecehan seksual : misalnya melaporkan pada atasan, menyatakan penolakan langsung ada pelaku)
• avoiding the harasser (menghindari pelaku)
• ignore or did nothing (mengabaikan atau tidak berbuat apa-apa).

Dari kelima reaksi tersebut, rekasi yang paling sering ditampilkan adalah menghindari pelaku dan mengabaikan, serta tidak berbuat apa-apa.

Alasan korban untuk tidak melakukan tindakan yang bersifat membela diri adalah malu, merasa tidak ada yang dapat dilakukan, tidak tahu apa yang harus dilakukan dan takut kesalahan ditimpakan kepada mereka.

Sedangkan secara emosional reaksi perasaan para korban pelecehan seksual dapat berupa:
merasa malu;
merasa dipermalukan;
merasa tidak berdaya;
merasa terintimidasi atau terancam;
merasa terbuai atau terbujuk;
merasa terhina;
merasa tidak nyaman;
merasa gelisah atau gugup;
mengalami perasaan negatif terhadap diri sendiri;
menyalahkan diri sendiri;
merasa bersalah;
mengalami kecemasan;
merasa tercekam/ketakutan;
dan merasa marah.

CARA MENGATASI PELECEHAN SEKSUAL.

Menilik cara bereaksi korban pelecehan seksual di Indonesia khususnya yang lebih banyak "diam" dan "melupakan" maka untuk mengatasi pelecehan seksual disarankan melalui 2 (dua) pendekatan, yaitu dengan :

• pendekatan legal, di tingkat nasional berbentuk undang-undang dan di tingkat organisasi berbentuk Peraturan Perusahaan/Perjanji an Kerja Bersama. –

• pendekatan individual-psikolog is, terutama untuk mengatasi dampak pelecehan seksual.

Harus ada keterlibatan Negara dalam mencegah terjadinya pelecehan di tempat kerja ataupun segala bentuk kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan.

Keterlibatan ini adalah dalam bentuk pembuatan dan penerapan berbagai bentuk peraturan yang memberi peluang untuk memperkarakan kasus pelecehan seksual sebagai kasus pidana, setara dengan pidana-pidana umum lainnya.

Karena peraturan yang melindungi hak-hak perempuan dari segala bentuk pelecehan seksual haruslah merupakan peraturan tersendiri, lengkap dengan metode pembuktian, bahkan bentuk-bentuk rehabilitasi dan terapi jika sekiranya dibutuhkan.

Selain itu, keterampilan untuk bertindak assertif, yang terfokus pada masalah perlu diberikan kepada wanita yang bekerja. Penyadaran mengenai kesetaraan gender dan pandangan mengenai kedudukan yang setara dalam kerja juga perlu ditanamkan sejak dini pada semua lapisan dan kalangan.Imbalan dan hukuman terhadap pelecehan seksual perlu diberikan.

Selain itu perlu ditanamkan sejak tingkat pendidikan dasar bahwa pelecehan seksual merupakan tindakan yang salah, dan dikenalkan pula bentuk-bentuk perilaku pelecehan seksual kepada pesera didik.

Pendeknya, sosialisasi perlu dilakukan mengenai apa, mengapa dan bagaimana mengatasi pelecehan seksual.

Ganjar Kusmana, SH
Kasubag Penelaahan Peraturan Perundang-undangan
Biro Hukum Depnakertrans.

Sumber : Informasi Hukum Vol. 1 Tahun VII, 2005

1 komentar:

Anonim mengatakan...

terima kasih artikelnya...